Hidup itu, selalu saja mendengarkan omongan orang sekitar
kita. Banyak hal yang biasanya mereka bicarakan tentang hidup orang lain. Tidak
terkecuali dengan diri saya. Pertama kali, saat saya menikah dan harus tidak
tinggal bersama dengan suami saya yang kerjanya jauh dan tidak memungkinkan
untuk saya tinggal disana. Itu keputusan yang saya dan suami saya sepakati saat
itu. Saya beruntung, tidak bekerja diluar rumah. Tidak perlu mendengarkan
apapun yang orang luar bicarakan tentang hidup saya.
Namun, orangtua saya yang mendengar omongan orang lain. Salah satu
temannya secara tidak sengaja berkata kepada ibu saya, “Kalo tidak satu rumah,
gimana bisa punya anak”. Ibu saya menjawab, “Ga usah kayak gitu. Itu udah ada
yang ngatur, yang satu rumah aja ada yang belom punya anak sampe bertahun-tahun”. Dan teman ibu saya langsung terdiam, dan
membenarkan jawaban dari ibu saya.
Beberapa
teman saya juga ada yang bertanya tentang hal itu. Saya hanya tersenyum, dan
menjawab, “ Gapapa kok. Itu kan sementara, nanti juga pasti bisa satu rumah”.
Long distance setelah menikah memang lebih sulit daripada sebelum menikah. Saya
akuin akan hal itu. Sampai saat ini, jika suami saya akan pergi lagi, saya
selalu menangis. Tapi, sudah belajar sedikit demi sedikit. Jadi saya tidak
sedih yang berlebihan seperti pertama kali ditinggal.
Delapan
bulan setelah menikah, saya akhirnya hamil. Saat saya melhat hasil testpack
positif, perasaan saya saat itu campur aduk. Antara senang, dan sedih. Senang,
karena ternyata saya bisa hamil. Sedih, karena saya merasa sedikit tidak siap
dengan apa yang terjadi setelah itu. Hal yang paling saya takutkan berat badan
saya yang akan terus bertambah. Ketakutan yang berlebihan menurut saya. Tapi,
lama kelamaan saya mulai menikmati dengan segala gejala kehamilan yang ada pada
diri saya.
Tepat saat
8 minggu, saya secara tidak sengaja terpeleset. Dan akhirnya terjadi pendarahan
ringan. Saya mulai konsultasi dengan dokter keesokan harinya. Karena dihari
itu, dirumah tidak ada orang. Saat di periksa oleh dokter, dokter kaget.
Ternyata usia kandungan saya dengan USG berbeda jauh. Harusnya 8 minggu, malah
5 minggu. Dokter mencoba menenangkan saya, beliau berkata bahwa kemungkinan
terlambat berkembang. Saya hanya diberikan obat penguat janin dan vitamin saja.
Dan saya pun akhirnya bedrest selama 2 minggu. Dan disuruh kembali 2 minggu
kemudian.
Tidak
sampai 2 minggu, saya terjadi pendarahan ringan lagi. Itu yang kemudian saya
takutkan. Akhirnya saya mencoba ke dokter yang lain. Dan disana, saya langsung
dinyatakan BO (Blight Ovum). Artinya, kandungan saya kosong. Tidak ada janinnya
sama sekali. Saya berpikir gara-gara saya jatuh itu. Namun, dokter bilang
kepada saya kalo itu tidak ada hubungannya. Itu murni dari sel telur ato sperma
yang tidak bagus. Penyebabnya itu kemungkinan kecapean, dan juga kurangnya
asupan nutrisi kedua pasangan.
Oke, 2
hari kemudian saya ke dokter yang berbeda. Dan beliau juga mengatakan hal yang
sama. Kemudian saya disarankan untuk dikuret. Pengalaman pertama untuk saya,
dimana saya mengetahui gimana rasanya kuret. Gimana rasanya harus kehilangan
sesuatu yang kita harapkan. Saat itu, alhamdulillah ada Ibu, Bapak dan adik
saya yang menemani. Sementara itu suami saya tidak bisa datang. Dan meskipun sebenarnya saya merasa sangat butuh suami saya saat itu. Namun, ternyata dia menemani saya. Dia
selalu menelpon saya, dia chat saya. Dia tidak pernah sekalipun meninggalkan
saya.
Dan
ternyata, keesokan harinya dia sudah perjalanan pulang. Dia sengaja tidak memberitahu kepada saya. Saat dia tiba, saya langsung memeluknya dan secara tidak sengaja saya menangis. Semua yang saya rasakan selama hampir 2 minggu itu yang membuat saya merasa tertekan. Saya tidak bisa menahan perasaan sedih, sakit hati,
dan kecewa saya pada saat itu. Suami saya langsung menenangkan saya. Perasaan
saya mulai tenang, saat dia ada disamping saya. Saya dan suami saya sama-sama
merasa sedih, terpukul dan akhirnya kita sama-sama saling menguatkan.
Setelah
kejadian itu, beberapa orang masih saja menganggap itu disebabkan karena saya
yang kurang banyak makan saat saya hamil. Saat itu saya tidak terima dengan komentar mereka. Dan ada juga yang hanya menganggap kandungan kosong itu hanya murni kesalahan saya. Padahal dokter pun juga bilang kalo itu bukan hanya karena istrinya saja. Tapi suaminya juga. Cuma saya hanya membalas dengan senyum aja. Tidak perlu diambil pusing.
Beberapa
orang juga ada yang berkata kepada saya, “ ayo, bikin lagi. Masa kamu ga mau
hamil kayak gini” sambil memegang perutnya yang sedang hamil tua. Saya tersenyum, dan berkata “Untuk saat ini saya masih sedikit trauma. Saya masih takut. Saya takut kejadian seperti kemaren”. Saya memang ada perasaan sedikit trauma. Tapi selebihnya, saya sekarang merasa lebih santai. Menikmati alur yang Allah kasih kepada saya. Mungkin untuk saat ini Allah ingin saya lebih dekat lagi dengan suami saya. Dan tidak terlalu terburu buru untuk mendapatkan momongan.
Tidak
bakal ada habisnya, kita akan selalu dibicarakan oleh orang yang ada disekitar
kita. Apapun itu, mereka bakal membicarakan tentang hidup kita. Menganggap
hidup mereka lebih baik daripada kita.
Ini
sekedar cerita, dan opini dari diri saya sendiri. Bagaimana perasaan saya
selama ini, dan bagaimana hidup saya selama ini.
Doakan saya, untuk ke depannya lebih baik lagi. Semoga tahun ini saya bisa mulai program untuk hamil lagi.
Komentar
Posting Komentar